Selasa, 12 Februari 2008

Gua di bibir tebing


Perjalanan kami mulai menunjukkan akhir, setelah berkendera motor hampir 1 jam, kami telah melewati sebuah sumber air yang bernama Kali Sureng. Sumber air ini berasal dari sebuah cerukan dalam tanah seperti gua, yang menurut penduduk sekitar, mulut gua tersebut memang sengaja di tutup dari jaman kakek buyut mereka tanpa alasan yang jelas. Namun sumber ini tidak pernah kering walaupun memasuki puncak musim kemarau.

Namun itu bukan tujuan akhir dari perjalanan kami. Hari ini kami berniat untuk mencoba menelusuri sebuah gua yang berada di bibir tebing laut, gua ini dinamai penduduk Gua Nguluran karena berada di bawah tebing yang bernama Nguluran. Di ujung jalan telah terhampar sebuah pantai kecil yang berpasir putih, dugaan kami pantai ini hanya di kunjungi oleh masyarakat sekitar karena letaknya yang jauh dan terpencil.
“dari sini kita masih harus berjalan kaki kurang lebih 45 menit melewati bukit untuk sampai ke lokasi gua“ kata pak Yanto, penduduk lokal yang telah bersedia mengantar kami.
Tanpa membuang waktu kami mulai menapaki jalan menanjak di depan kami. Kali ini kami ditemani salah seorang penduduk lagi. Beliau merupakan orang yang pernah memasuki gua tersebut untuk mencari sarang burung walet. Dari beliau pulalah kami mendapat sedikit gambaran bagaimana kondisi gua tersebut. Rasa penasaran makin menghinggapi kami berenam. Aku, uci,niko,andi,asril,rian, walau dengan kelelahan mencoba mengimbangi kedua pemandu lokal kami. Cuaca yang sangat panas di tambah dengan jalan menanjak tanpa adanya pohon rindang membuat stamina kami benar – benar terkuras, tak terasa sudah beberapa kali kami berhenti untuk sekedar mengatur napas dan meminum seteguk air.

Setelah hampir sejam kami berjalan, tibalah kami di tebing yang dimaksud. Mengatur napas sejenak sambil melihat pemandangan laut selatan yang terbentang di hadapan kami.
Alat rigging pun di siapkan. Lintasan di pasang, satu persatu dari kami mulai menggantung di seutas tali pengaman yang mengantar kami ke dasar tebing. Ternyata lokasi gua Nguluran berada di dasar tebing dengan ketinggian kurang lebih 10 meter, tebing ini di apit oleh dua tebing di sisi kiri dan kanan yang sering di gunakan oleh para pencari lobster dari desa tersebut.

Gua Nguluran menghadap ke selatan dengan teras tebing di depan mulut selebar kurang lebih dua meter membuat kami aman dari terjangan ombak walaupun laut sedang pasang.
Mulut gua Nguluran mempunyai bentuk setengah lingkaran yang tak beraturan. Di mulut gua sudah terlihat genangan air, yang ternyata oleh penduduk di gunakan untuk menyiram ladang dan sawah mereka. Untuk turun ke lokasi gua mereka menggunakan sebuah tangga bambu tradisional yang di ikatkan ke bibir tebing. Ada kegetiran melihat perjuangan mereka ketika kami berjumpa dengan salah seorang penduduk yang sedang menuruni tangga guna mengambil air ke gua Nguluran.
Gua Nguluran merupakan gua horisontal, yang tidak terlalu panjang dengan jarak panjang lorong ± 50 meter dan lebar ± 30 meter. Seluruh ruangan gua di penuhi air dengan kedalaman yang bervariasi, bahkan di beberapa tempat kami tidak bisa memastikan berpa kedalamnya. Di tengah ruangan yang berhadapan langsung dengan mulut gua terdapat flowstone raksasa yang tingginya ± 10 meter. Flowstone ini seluruhnya di lapisi kalsit berwarna putih dengan gourdams yang terbentuk di atasnya. Tidak tampak adanya inlet air selain yang kami temukan mengalir mengikuti alur sebuah pilar di atas ornamen yang menjulang ke atap gua.

Tampak bagi kami, gua ini seperti sebuah kolam penampungan, yang memiliki hiasan menarik dari proses geologi yang tercipta akibat aliran air dan endapan kalsit yang terjadi. Di gua Nguluran tidak tampak bagi kami adanya burung walet atau sriti, Cuma 1–2 ekor kelelawar yang tampak berputar mengitari ruangan di atas kami.setelah membuat sketsa dari ruangan gua dan mengambil beberapa dokumentasi foto kami pun bergegas untuk segera keluar. Tak tersa waktu telah menunjukkan pukul 8 malam.

Mengingat perjalan kami masih jauh satu persatu dari kami mulai meniti tali dibawah penerangan lampu karbit dari helm kami. Bergantung di tali dalam kegelapan malam dengan suara deru ombak laut selatan membuat kami akan tetap mengingat perjalan kami ke gua yang satu ini. Terbayang sudah cerita yang akan kami sampaikan buat rekan – rekan kami di Acintyacunyata Speleological Club.

Tidak ada komentar: