Senin, 14 April 2008

dari www.sekitarkita.com

HUTANKU MENYEKA PANTATMU

Rahadian Permadi*

Ketika sedang "nongkrong" atau duduk di atas toilet hotel, biasaya
kita melihat sebuah gulungan kertas yang menggantung ditembok.
Gulungan kertas itu lazim disebut kertas toilet yang digunakan untuk
membersihkan diri sehabis buang air. Singkatnya kertas tersebut
digunakan untuk mengatasi perkara toilet.

Bagi masyarakat Indonesia mungkin kertas toilet bukan hal yang
penting karena kebiasaan toilet di Indonesia tak menggunakan kertas
toilet. Masyarakat Indonesia biasa menggunakan air untuk membasuh
atau membersihkan diri sehabis buang air. Perkara membersihkan diri
dengan air atau lazim disebut "cebok" masih saja dilakukan sekalipun
bagi mereka yang masih menggunakan jamban atau toilet yang berada di
pinggir kolam atau empang. Namun bagi masyarakat di belahan bumi
lainnya, kebiasaan membasuh dengan air tidak dilakukan, sebagai
gantinya mereka menyekanya dengan kertas toilet.

Sekilas, kertas toilet kelihatan seperti perkara sepele saja. Toh itu
hanya kertas yang digunakan untuk membersihkan diri atau cebok.
Sesungguhnya kertas toilet memiliki sejarah yang cukup panjang.
Menurut catatan Bulk Wolf (Sejarah Kertas Toilet) yang terdapat dalam
ABCNews, sekitar abad ke-14 Kaisar China meminta kertas toilet
berukuran dua kali tiga kaki. Pada tahun 1596 Sir John Harington,
menemukan toilet yang dapat mengeluarkan air (flushing). Hal ini lalu
memberikan inspirasi bagi perkembangan berikutnya. Joseph C. Gayetty,
seorang pengusaha, yang membuat kertas toilet yang
disebut "therapeutic paper" (kertas terapi). Kertas toilet dalam
bentuk gulungan baru muncul menjelang akhir abad ke-19 yang
dipromosikan oleh Scott Paper—perusahaan ini pada akhirnya bergabung
dengan salah satu perusahaan kertas toilet raksasa Kimberly-Clark.

Jika dilihat dari sejarahnya yang panjang, mungkin kertas toilet tak
lagi dipandang sebagai barang sepele. Namun barangkali masih ada yang
menganggap kertas toilet sebagai barang sepele tapi tidak oleh
militer Amerika. Ketika Perang Teluk berkecamuk, tentara Amerika
menggunakan kertas toilet untuk menyamarkan tank-tanknya!

Di negara-negara maju semisal Amerika, negara-negara di kawasan
Eropa, dan Australia pemakaian kertas toilet cukup besar. Besarnya
jumlah pemakaian kertas toilet ini tak lepas dari kebiasaan toilet
yang ada di negara-negara tersebut. Oleh karena kebiasaan ini maka ia
harus senantiasa tersedia dan karenanya harus selalu masuk dalam
daftar belanja. Bahkan kertas toilet menjadi pilihan kedua terbanyak
setelah makanan jika orang ditanya apa yang paling dibutuhkan
seandainya terdampar di sebuah pulau (www.toiletpaperwolrd.com). Hal
ini membuat kertas toilet merupakan barang yang cukup konsumtif.
Masih dari sumber yang sama, menurut survey yang dilakukan Charmin
(sebuah anak cabang dari perusahaan Procter & Gamble di Amerika),
rata-rata pemakaian kertas toilet kurang lebih 8 lembar sekali pakai
atau 57 lembar perharinya dan 20.805 lembar pertahunnya. Dengan angka-
angka ini dapat dibayangkan jika di sebuah kota berpenduduk 20 juta,
maka pemakaian kertas toilet pertahunnya kurang lebih mencapai 416
milyar lembar! Selain menunjukkan jumlah pemakaian yang besar, angka
ini juga menunjukkan bahwa dibalik perkara cebok terdapat ladang
bisnis yang menggiurkan. Lihat saja dalam skala kecil, bisnis toilet
di Indonesia yang tak pernah sepi. Apalagi jika dalam skala besar,
semakin banyak dolar yang dapat diraup dari bisnis toilet ini.
Kimberly-Clark meraup sekitar 4,46 juta dolar pada tahun 1999 dengan
penjualan sebanyak 16.9 milyar lembar kertas toilet dari 1 gulung
kertas toilet yang berisi 280 lembar (www.toiletpaperworld.com).

Besarnya jumlah konsumsi kertas toilet mengakibatkan naiknya jumlah
produksi kertas toilet. Hal ini tentu saja berimbas pada penyediaan
kayu sebagai bahan dasar pembuat kertas. Jika seandainya pemakaian
hutan di negara produsen dan konsumen kertas sudah mencapai titik
maksimum maka hal ini dapat mengganggu proses produksi kertas.
Selanjutnya kebutuhan pasar kertas tak medapatkan pasokan. Mungkin
sebagian besar pengguna kertas toilet akan kebingunan jika kertas
toilet tak mudah lagi didapatkan. Dalam situasi ini, jalan keluar
yang diambil adalah mengimpor bubuk kertas dari negara lain. Jalan
keluar semacam ini mengorbankan hutan-hutan di negara-negara dunia
ketiga—banyak perusahaan kertas berlokasi di negara-negara maju.

Saat ini, sekitar 80% pasokan pulp dan kertas dunia berasal dari
negara-negara Norscan, yang telah mencapai titik maksimum penggunaan
hutan mereka. Padahal, pada saat yang bersamaan, kebutuhan dunia
meningkat sekitar 3% setiap tahunnya. Harapan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut jatuh pada negara-negara yang masih memiliki
hutan, seperti Indonesia, Brasil, Cile, Afrika Tengah, dan Rusia.
Karena itu, di kawasan Asia, Indonesia memegang peranan penting dalam
memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia.
http://www.aikon.or.id/minggukertas/faq.asp

Negara-negara yang masih memiliki hutan—umumnya negara dunia ketiga—
mungkin melihat persoalan ekspor kertas sebagai peluang untuk
mengangkat perekonomian negara. Beranjak dari pandangan tersebut,
dibuatlah perjanjian bisnis antara negara pemilik hutan dan
perusahaan kertas. Setelah perjanjian bisnis selesai ditandatangani,
maka berdatangan orang-orang dengan segala mesin-mesin canggihnya
untuk menebangi pohon-pohon. Tak dapat disangkal lagi, proses
penebangan hutan untuk produksi kertas mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Lihat saja kasus Indorayon—sebuah perusahaan bubuk kertas
di Sumetara Utara—yang proses produksinya kemudian membuat volume air
Danau Toba berkurang. Mudah diprediksi bahwa kasus-kasus serupa juga
terjadi di negara-negara lainnya jika melihat ulah para perusahaan
penghasil bubur kayu.

Jika demikian buruk dampak pemakaian kertas terhadap lingkungan,
apakah ada alternatif pengganti kertas, termasuk kertas toilet?
Apakah lebih baik para pengguna kertas toilet dianjurkan untuk
mengganti kebiasaannya, misalnya membasuh dengan air? Agak sulit
untuk mencari pengganti kertas dan juga sulit merubah kebiasaan yang
telah berlangsung berabad-abad. Jawaban lainnya mungkin adalah
penggunaan kertas daur ulang sebagai kertas toilet. Jika dilihat dari
banyaknya sampah yang dihasilkan dari pemakaian kertas, maka produk
daur ulang seperti obat mujarab untuk mengatasi persoalan pemakaian
kertas. Sekarang ini banyak kertas toilet yang merupakan produk daur
ulang. Dengan adanya produk daur ulang ini maka para konsumen kertas
dianjurkan untuk memilah sampah di kantor atau di rumah masing-masing.
Keprihatinan akan pemakaian kertas yang begitu besar dan dampaknya
terhadap kelestarian hutan beserta habitatnya, harus mengendap dalam
kesadaran para pengguna kertas toilet. Mereka harus pandai memilih
produk kertas toilet yang dihasilkan dari proses daur ulang.
Persoalannya yang muncul dari daur ulang adalah kualitas. Kualitas
kertas toilet daur ulang mungkin tak sehalus kertas toilet yang tidak
didaur ulang. Barangkali mereka yang sudah terbiasa menggunakan
kertas toilet yang tidak didaur ulang akan kecewa jika menggunakan
kertas toilet daur ulang. Mereka takut bahwa kertas toilet daur ulang
tak cukup lembut di pantat. Tapi kekecewaan itu tak seberapa
dibandingkan dengan lingkungan yang hancur dan eksistensi masyarakat
yang bergantung hidupnya pada hutan menjadi terancam. Agak ironis,
disatu sisi hanya persoalan pantat dan disisi lain persoalan
eksistensi yang terancam. Mengenai hal ini seorang teman di Melbourne
bercerita tentang seorang dari dunia ketiga yang bertanya pada
pengguna kertas toilet, "Apa yang anda lakukan dengan kebiasaan
toilet anda jika kami tak menebang pohon-pohon kami?" Pertanyaan ini
bukan mengejek para pengguna kertas toilet namun mengajak untuk
berpikir kembali bahwa apa yang biasa digunakan untuk membersihkan
pantat diambil dari hutan-hutan di negara lain, yang merupakan bagian
dari hidup mereka.

Bisa saja orang bersikap masa bodoh dengan tidak memikirkan tentang
kaitan antara kertas toilet dan lingkungan. Ketika perut mules,
tinggal kebelakang dan buang hajat, lalu bersihkan dengan kertas
toilet.Tak peduli berapa banyak yang terpakai, pokoknya pantat
kembali bersih. Ini yang paling penting. Ini memang pilihan apakah
orang perlu sadar atau tidak akan kaitan antara kertas toilet dan
lingkungan. Namun jika sikap tak peduli yang dipilih, maka orang-
orang yang hidupnya bergantung pada hutan harus meringis melihat
hutan mereka yang hijau berakhir di pantat orang yang bebal.

* Rahadian Permadi, aktivis kemanusiaan

1 komentar:

Enno mengatakan...

tapi kalo di toilet2 di mal disediain handuk atau lap kain, sapa yang nyucinya mas? repot juga lho hehehe :D