Kamis, 21 Februari 2008

Ronggowarsito

JONGKO JOYO BOYO


Iki sing dadi tandane zaman kolobendu
Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran





1. Lindu ping pitu sedino
Gempa bumi 7 x sehari
2. Lemah bengkah
Tanah pecah merekah
3. Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
4. Pagebluk rupo-rupo
Bencana bermacam-macam
5. Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati
Hanya sedikit yang sembuh kebanyakan meninggal


Zaman kalabendu iku wiwit yen, Zaman ini ditandai dengan :

1. Wis ana kreto mlaku tampo jaran
Sudah ada kereta yang berjalan tanpa kuda
2. Tanah jawa kalungan wesi
Tanah Jawa dikelilingi besi (mungkin maksudnya Rel kereta kali
ya : Red)
3. Prau mlaku ing nduwur awang-awang
Perahu berjalan di atas awan melayang layang
4. Kali ilang kedunge
Sungai kehilangan danaunya
5. Pasar ilang kumandange
Pasar kehilangan keramaianya
6. Wong nemoni wolak-walik ing zaman
Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik
7. Jaran doyan sambel
Kuda doyan makan sambal
8. Wong wadon menganggo lanang
Orang perempuan mempergunakan busana laki-laki

Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman kanikmatan donya,
nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya. Zaman
kalabendu itu seperti jaman yang menyenangkan, jaman kenikmatan
dunia, tetapi jaman itu sebenarnya jaman kehancuran dan berantakannya
dunia

1. Mulane akeh bapak lali anak
Oleh sebab itu banyak bapak lupa sama anaknya
2. Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang bapaknya
3. Sedulur pada cidro cinidro
Sesama saudara saling berkelahi
4. Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang kaprawirane
Perempuan kehilangan rasa malunya, Laki-laki kehilangan rasa
kejantanannya
5. Akeh wong lanang ora duwe bojo
Banyak Laki laki tidak punya istri
6. Akeh wong wadon ora setia karo bojone
Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya
7. Akeh ibu pada ngedol anake
Banyak ibu yang menjual anaknya
8. Akeh wong wadon ngedol awakke
Banyak perempuan yang menjual dirinya
9. Akeh wong ijol bojo
Banyak orang yang tukar menukar pasangan
10. Akeh udan salah mongso
Sering terjadi hujan salah musim
11. Akeh prawan tuwo
Banyak Perawan Tua
12. Akeh rondo ngalairake anak
Banyak janda yang melahirkan anak
13. Akeh jabang bayi nggoleki bapake
Banyak bayi yang lahir tanpa bapak
14. Wong wodan ngalamar wong lanang
Perempuan melamar laki-laki
15. Wong lanang ngasorake, drajate dewe
Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri
16. Akeh bocah kowar
Banyak anak lahir di luar nikah
17. Rondo murah regane
Janda murah harganya
18. Rondo ajine mung sak sen loro
Janda nilainya hanya satu sen untuk dua
19. Prawan rong sen loro
Perawan nilainya dua sen untuk dua
20. Dudo pincang payu sangang wong
Duda berharga 9 orang

Zamane zaman edan
Zamannya Zaman Gila/Sinting

1. Wong wadon nunggang jaran
Perempuan menunggang Kuda
2. Wong lanang lungguh plengki
Laki-laki berpangku tangan
3. Wong bener tenger-tenger
Orang yang benar cuma bisa bengong
4. Wong salah bungah-bungah
Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora
5. Wong apik ditapik-tampik
Orang Baik di singkirkan
6. Wong bejat munggah pangkat
Orang Yang kelakuannya bejat malah naik pangkat
7. Akeh ndandhang diunekake kuntul
Banyak komentar yang tidak ada isinya
8. Wong salah dianggap bener
Orang salah diangap benar
9. Wong lugu kebelenggu
Orang lugu dibelenggu
10. Wong mulyo dikunjara
Orang mulia dipenjara
11. Sing culika mulya, sing jujur kojur
Yang salah mulia, yang jujur hancur
12. Para laku dagang akeh sing keplanggrang
Pedagang banyak yang menyeleweng
13. Wong main akeh sing ndadi
Orang berjudi semakin menjadi
14. Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali tangga lali
konco
Lupa anak dan pasangan, lupa tetangga dan teman
15. Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
Uang dan keringat hanya untuk berjudi
16. Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
Kartu besar dibuka, tertawa terbahak-bahak
17. Ning mulih main kantonge kempes
Tapi waktu pulang main kantongnya kosong
18. Krugu bojo lan anak nangis ora di rewes
Denger anak istri nangis tidak digubris

Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,keliring zaman
kalabendu iku.
Berat seperti apapun jangan sampai kalut == (lebih tepatnya)
Seberat apapun jangan sampai ikut larut dalam warna-warni zaman
kalabendu.

Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman ratu adil, zaman
kamulyan. Mula sing tatag, sing tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak
ing zaman Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil Sebab jaman
itu bakal sirna dan diganti dengan jaman Ratu adil, jaman kemuliaan,
karena itu yang tegar, yang tabah, yang kokoh, Jangan melakukan hal
bodoh. Tunggulah jaman kemuliaan jamannya Ratu adil.

Jumat, 15 Februari 2008

Teh atau ocha !
Beberapa hari ini hujan terus – menerus, isi berita di TV pun penuh dengan berita daerah – daerah yang banjir. Sambil ditemani secangkir teh panas…… aku dan beberapa ‘konco’ mulai asyik ngobrol soal kebiasaan minum teh, ada yang suka teh hijau, ada yang teh poci, namun ada juga yang suka teh pahit (teh tanpa gula). klo aku sih paling suka “teh bikinan” (maksudnya teh yang di bikinkan teman…..kan gak susah – susah lagi..he..eh).Kayaknya asyik juga klo ada rutinitas seperti ini, ada teh panas yang bikin hangat, dan bikin obrolan jadi asyik.
Karena beberapa hari ini sudah larut dalam aktivitas minum teh bersama, makanya iseng – iseng aku coba membaca beberapa referensi tentang bagaimana upacara teh dilakukan (karena upacara minum teh lebih khusus dilakukan oleh masyarakat Jepang, maka referensinya pun dari beberapa situs mengenai upacara minum teh di Jepang)
Tahun Keterangan
Abad XVI
a. Bangsa Eropa kenal teh
b. Teh diperdagangkan di Belanda (1610) teh dari Tiongkok dan Jepang
Akhir Abad XVII
a. Orang Inggris suka minum teh (harga penjualan mencapai 20 x harga pembelian)
Kalau di Indonesia, teh merupakan minuman suguhan dalam setiap acara baik formal atau non formal. Paling enak di suguhkan pada saat cuaca dingin, tapi baik juga di suguhkan pada saat santai. Ada teh poci,teh hijau, teh celup, teh melati dan masih banyak penyebutan teh lainnya sesuai dengan warna, cara pengolahan atau pun penyajian.
Klo di Jepang budaya minum teh dilakukan dengan ritual khusus yang di sebut sado atau chado yang artinya jalan teh. Ini merupakan ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh bagi tamunya. Ritual ini dilakukan oleh tuan rumah dalam situasi yang sangat menyenangkan bagi tamunya dan merupakan penghormatan bagi tamu yang di undang.
Upacara minum teh bagi orang jepang merupakan cerminan kepribadian dan pengetahuan si tuan rumah dalam tujuan hidup, cara berpikir, agama dan berbagai pengetahuan seni umum. Biasanya teh (ocha) yang di gunakan adalah teh hijau yang di giling halus. Ada yang di sebut matchado (teh hijau jebis matcha) atau senchado (teh hijau jenis sencha)
Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan. Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.
Sejarah teh di Indonesia
Teh di perkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Andreas Cleyer pada tahun 1686 di perkebunan Batavia. Pada tahun 1728 pengolahan teh sudah didukung oleh pemerintah. Nah mulai tahun 1826 sampai dengan tahun 1828, mulai terjadi penanaman dan ekspor teh dalam skala besar. Dimulai dari percabaaan yang berhasil di kebun Botani Bogor, tanaman teh mengalami masa keemasan-nya dengan keuntungan Pemerintah Belanda yang mencapai 967 juta gulden, dimana terdapat 4.500 bau (sekitar 3.193 hektar) kebun teh di pulau Jawa. Sistem perkebunan teh ini di mulai oleh J.L.L.L. Jacobson.
Sumber:
"http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_teh_di_Indonesia
"http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_minum_teh

Selasa, 12 Februari 2008

Gua di bibir tebing


Perjalanan kami mulai menunjukkan akhir, setelah berkendera motor hampir 1 jam, kami telah melewati sebuah sumber air yang bernama Kali Sureng. Sumber air ini berasal dari sebuah cerukan dalam tanah seperti gua, yang menurut penduduk sekitar, mulut gua tersebut memang sengaja di tutup dari jaman kakek buyut mereka tanpa alasan yang jelas. Namun sumber ini tidak pernah kering walaupun memasuki puncak musim kemarau.

Namun itu bukan tujuan akhir dari perjalanan kami. Hari ini kami berniat untuk mencoba menelusuri sebuah gua yang berada di bibir tebing laut, gua ini dinamai penduduk Gua Nguluran karena berada di bawah tebing yang bernama Nguluran. Di ujung jalan telah terhampar sebuah pantai kecil yang berpasir putih, dugaan kami pantai ini hanya di kunjungi oleh masyarakat sekitar karena letaknya yang jauh dan terpencil.
“dari sini kita masih harus berjalan kaki kurang lebih 45 menit melewati bukit untuk sampai ke lokasi gua“ kata pak Yanto, penduduk lokal yang telah bersedia mengantar kami.
Tanpa membuang waktu kami mulai menapaki jalan menanjak di depan kami. Kali ini kami ditemani salah seorang penduduk lagi. Beliau merupakan orang yang pernah memasuki gua tersebut untuk mencari sarang burung walet. Dari beliau pulalah kami mendapat sedikit gambaran bagaimana kondisi gua tersebut. Rasa penasaran makin menghinggapi kami berenam. Aku, uci,niko,andi,asril,rian, walau dengan kelelahan mencoba mengimbangi kedua pemandu lokal kami. Cuaca yang sangat panas di tambah dengan jalan menanjak tanpa adanya pohon rindang membuat stamina kami benar – benar terkuras, tak terasa sudah beberapa kali kami berhenti untuk sekedar mengatur napas dan meminum seteguk air.

Setelah hampir sejam kami berjalan, tibalah kami di tebing yang dimaksud. Mengatur napas sejenak sambil melihat pemandangan laut selatan yang terbentang di hadapan kami.
Alat rigging pun di siapkan. Lintasan di pasang, satu persatu dari kami mulai menggantung di seutas tali pengaman yang mengantar kami ke dasar tebing. Ternyata lokasi gua Nguluran berada di dasar tebing dengan ketinggian kurang lebih 10 meter, tebing ini di apit oleh dua tebing di sisi kiri dan kanan yang sering di gunakan oleh para pencari lobster dari desa tersebut.

Gua Nguluran menghadap ke selatan dengan teras tebing di depan mulut selebar kurang lebih dua meter membuat kami aman dari terjangan ombak walaupun laut sedang pasang.
Mulut gua Nguluran mempunyai bentuk setengah lingkaran yang tak beraturan. Di mulut gua sudah terlihat genangan air, yang ternyata oleh penduduk di gunakan untuk menyiram ladang dan sawah mereka. Untuk turun ke lokasi gua mereka menggunakan sebuah tangga bambu tradisional yang di ikatkan ke bibir tebing. Ada kegetiran melihat perjuangan mereka ketika kami berjumpa dengan salah seorang penduduk yang sedang menuruni tangga guna mengambil air ke gua Nguluran.
Gua Nguluran merupakan gua horisontal, yang tidak terlalu panjang dengan jarak panjang lorong ± 50 meter dan lebar ± 30 meter. Seluruh ruangan gua di penuhi air dengan kedalaman yang bervariasi, bahkan di beberapa tempat kami tidak bisa memastikan berpa kedalamnya. Di tengah ruangan yang berhadapan langsung dengan mulut gua terdapat flowstone raksasa yang tingginya ± 10 meter. Flowstone ini seluruhnya di lapisi kalsit berwarna putih dengan gourdams yang terbentuk di atasnya. Tidak tampak adanya inlet air selain yang kami temukan mengalir mengikuti alur sebuah pilar di atas ornamen yang menjulang ke atap gua.

Tampak bagi kami, gua ini seperti sebuah kolam penampungan, yang memiliki hiasan menarik dari proses geologi yang tercipta akibat aliran air dan endapan kalsit yang terjadi. Di gua Nguluran tidak tampak bagi kami adanya burung walet atau sriti, Cuma 1–2 ekor kelelawar yang tampak berputar mengitari ruangan di atas kami.setelah membuat sketsa dari ruangan gua dan mengambil beberapa dokumentasi foto kami pun bergegas untuk segera keluar. Tak tersa waktu telah menunjukkan pukul 8 malam.

Mengingat perjalan kami masih jauh satu persatu dari kami mulai meniti tali dibawah penerangan lampu karbit dari helm kami. Bergantung di tali dalam kegelapan malam dengan suara deru ombak laut selatan membuat kami akan tetap mengingat perjalan kami ke gua yang satu ini. Terbayang sudah cerita yang akan kami sampaikan buat rekan – rekan kami di Acintyacunyata Speleological Club.

Kereta angin

Kereta Angin

Bermula dari tawaran teman untuk menemani melihat sepeda di toko, kemudian dengan modal sepeda pinjaman acara mengelilingi kota Jogjakarta pun bisa terwujud (walau tanpa rencana dan di guyur hujan deras)
Selama 2 hari acara olah raga mendadak dengan sepeda ini menarik rasa keingintauan saya tentang bagaimana perkembangan sepeda sampai menjadi alat dan tren di dalam masyarakat.
Klo di Indonesia dulunya sepeda cuma dapat di miliki oleh para Priyayi (bangsawan jawa) dan Mandor perkebunan, perlahan namun pasti alat yang satu ini mulai memasyarakat hingga kini. Dari para buruh pabrik sampai direktur tak luput dari wabah yang satu ini. Alat transportasi ini sudah tidak lagi mengenal perbedaan kelas.


Sempat hilang kepamorannya karena di gantikan oleh sepeda motor dan mobil, namun sepeda tidak dapat hilang total dari masyarakat. Kalau dulu fungsinya sebagai transportasi berubah menjadi alat olah raga, sekarang perlahan – lahan kembali menjadi suatu tren alat transportasi yang hemat dan ramah lingkungan.

Di Indonesia dulunya disebut sebagai kereta angin, kendaraan transportasi tanpa mesin ini sangat sederhana.

Sepeda pertama kali dikenalkan di Perancis. Di abad ke-18 masyarakat Perancis telah mengenal alat transportasi roda dua yang di namai Velocipede, namun kemudian di sempurnakan oleh Baron Karls Drais von Sauerbronn yang kemudian di juluki masyarakat dandy horse karena masih merupakan gabungan antara sepeda dan kereta kuda. Kendaraan ini juga pernah di sebut sebagai boneshaker (penggoyang tulang) karena desainnya yang belum menggunakan teknologi suspensi sehingga membuat penunggangnya menderita sakit pinggang akibat guncangan.

Sepeda kemudian berkembang pesat dengan munculnya teknologi setang yang dapat berputar, perubahan kerangka, ban dari karet yang diisi angin sehingga membuat kendaraan ini populer di kalangan masyarakat.
Kini, sepeda punya beragam nama dan model. Ada sepeda roda tiga buat balita, sepeda mini, "sepeda kumbang", hingga sepeda tandem buat dikendarai bersama. Bahkan olahraga balap sepeda mengenal sedikitnya tiga macam perangkat lomba. Yakni "sepeda jalan raya" untuk jalanan mulus "sepeda track" serta "sepeda gunung" .